BENARKAH UNGKAPAN “GAJI SUAMI MILIK
ISTERI DAN GAJI ISTERI MILIK ISTERI SENDIRI”?
Dalam
kehidupan berumahtangga pada masyarakat dewasa ini, kita sering mendengar
ungkapan dari para isteri, khususnya mereka yang juga bekerja atau berkarier
dan memiliki penghasilan sendiri, bahwa “gaji suami milik isteri dan gaji
isteri miliknya sendiri”. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa suami
memiliki kewajiban menafkahi isteri dan anak-anak sehingga wajib memberikan
gaji pada isterinya, sementara disisi lain sang isteri tidak memiliki kewajiban
dalam manafkahi suaminya, sehingga mereka tidak berkewajiban menyerahkan gaji
pada suaminya. Apakah ungkapan seperti ini sesuai dengan tuntunan dalam agama Islam?
Nafkah
bagi isteri dan anak, memang merupakan sebuah kewajiban yang telah ditetapkan
oleh Allah SWT bagi para suami. Namun apakah itu berarti bahwa semua gaji/ penghasilan
suami secara keseluruhan mutlak menjadi milik isteri?. Sebuah hadis dari
‘Aisyah, r.a. menceritakan tentang seorang isteri bernama Hindun binti Abu
Sufyan yang mencuri uang dari dompet suaminya dikarenakan suaminya Abu Sufyan
memiliki sifat yang sangat pelit. Kejadian itu kemudian disampaikan pada Nabi
SAW, lalu Beliau berkata “Ambillah secukupnya untuk kebutuhanmu dan
anak-anakmu” (H.R. Bukhari, dll).
Hadis
tersebut di atas, menunjukkan bahwa hak isteri dari harta suaminya adalah
sesuai dengan kebutuhan isteri dan anak anaknya. Menurut beberapa ulama,
kebutuhan isteri disesuaikan dengan ukuran kebiasaan masyarakat disekitarnya.
Oleh karena itu, mengambil uang suami melebihi batas kebutuhan dan tanpa
sepengetahuan suami, tetap dikategorikan mencuri dan merupakan perbuatan dosa.
Atas
dasar hal itu, tidaklah benar ungkapan yang mengatakan “gaji suami adalah milik
isteri”, dikarenakan hak para isteri hanya sebatas kebutuhannya dan kebutuhan
anak-anaknya saja, sehingga sisa atau kelebihan yang ada dari gaji suami tetaplah
menjadi hak dan milik suami itu sendiri. Adapun tradisi masyarakat dimana suami
memberikan seluruh gaji/ penghasilan kepada isteri, merupakan “kebaikan hati
suami” yang harus disyukuri para isteri, sekaligus merupakan “amanah” bagi para
isteri untuk dipergunakan secara baik dan bertanggungjawab.
Terkait
dengan gaji/penghasilan seorang isteri, perlu diingat bahwa mencari nafkah bagi
isteri bukanlah merupakan sebuah kewajiban dari Allah SWT. Adapun tentang boleh
atau tidaknya sangat tergantung dari suami apakah memberinya izin atau tidak.
Dan atas dasar adanya izin dari suami itulah kemudian seorang isteri
dimungkinkan oleh agama untuk bekerja mencari nafkah. Seorang suami memiliki
hak untuk mencabut izin dari isterinya jika suami menilai bahwa izin yang
diberikan itu disalahgunakan atau menjadikan sang isteri melalaikan
kewajiban-kewajiban utamanya sebagai isteri dan ibu rumah tangga. Dan karena
gaji/ penghasilan yang didapatkan oleh isteri dari pekerjaannya sangat
bergantung pada izin yang diberikan oleh suami, maka sangat tepat jika dipahami
bahwa dalam gaji/penghasilan isteri tersebut juga terdapat hak suami, karena
sang isteri tentu tidak akan mendapatkan itu semua tanpa izin dan restu dari
suaminya.
Atas
dasar hal itu pula, tidaklah sepenuhnya benar ungkapan yang mengatakan bahwa
“gaji/penghasilan isteri adalah milik isteri sendiri”. Akan tetapi, merupakan
ungkapan yang sangat bijak jika dikatakan bahwa “gaji/penghasilan isteri adalah
harta bersama antara suami dan isteri”. Dan seorang isteri yang rela dan
bersedia memberikan semua gaji/penghasilan yang dimilikinya untuk membantu mencukupi
kebutuhan keluarga, juga merupakan “kebaikan hati isteri” yang harus pula
disyukuri oleh sang suami.
Dengan
pemahaman bahwa “Dalam gaji/penghasilan suami ada hak isteri, dan dalam
gaji/penghasilan isteri ada hak suami”, akan tercipta situasi saling menghargai
dan saling mendukung satu sama lain, dan pada gilirannya akan menjadi pilar yang
kokoh dalam membangun sebuah rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa
rahmah... Wallahu A’lam..